Memahami Krisis Di Industri Musik

Chris Purifoy, co-founder dari Restoring Music Foundation, mencoba menjabarkan apa yang membuat industri musik mengalami krisis. Ia memulai proyek penelitian ini sejak 2007 dan isu-isunya telah dilempar dalam forum profesional pelaku industri musik di social media LinkedIn. Ada 12 point yang menurutnya menjadi penyebab krisis dan berikut ini gue coba tulis ulang dan tafsirkan kembali relevan atau tidaknya. 

(tidak berdasarkan urutan)

1. Internet Radio.

Hadirnya internet radio menyebabkan pertumbuhan industri musik menjadi tersendat karena tidak adanya uang yang masuk dari licensing fee terhadap streaming music yang dijalankan internet radio tersebut. Karena semua orang hampir dapat membuat internet radionya sendiri menjadikan tidak teratur. Collecting society sebagai badan yang memungut ‘pajak’ siaran radio ini juga dicuekin dan kewalahan. Ini menyebabkan krisis, bayangkan saja siapa yang diuntungkan dari hadirnya internet radio? Ya pemilik bandwidth jaringan, karena jaringan mereka terpakai sepenuhnya dengan adanya konten musik yang diputar. Dan pengguna internet radio ini tanpa sadar sebenarnya telah membayar jasa menggunakan jaringan. Sedangkan bagi musik yang sudah bersumbangsih terhadap pemasukan pemilik jaringan tidak mendapatkan apa-apa. Ngenes!

2. 360 deals.

Menurut Chris kebijakan perusahaan rekaman menerapkan 360 deals pada artis-artis terbarunya memacu problem baru. Bila awalnya perusahaan rekaman ini mahir di distribusi penjualan maka dengan adanya 360 deals ini perusahaan rekaman juga harus mampu memupuk bakat dari artis-artis yang dikontraknya. Bukan hanya itu, jika tadinya tur dan manggung diurus sama agensi, nah sekarang perusahaan rekaman juga mengambil peran untuk mengurusi itu. Kebayang pusingnya apalagi buat label yang memaksakan kondisi ini.

3. Web 2.0.

Facebook, twitter, youtube dan puluhan social network yang hadir belakangan ini menurut Chris menjadi sumber penghamburan waktu untuk marketing. Gue sedikit setuju dengan pendapatnya, karena di era sekarang kudu musti memantau perbincangan di dunia maya dan berusaha engage dengan fans secara langsung lewat online. Namun tentunya supaya efektif, tidak semua social network harus diikuti. Cukup pilih mana yang paling relevan dengan target marketnya.

4. Apple.

Di Indonesia sih belum tersedia yah. Namun hadirnya Apple meskipun telah membuat jatuhnya industri musik tidak terlalu parah, sebenarnya menyimpan problem. Share untuk mereka dirasa terlalu tinggi. Pemilik content hanya mendapatkan 70% dari penjualan dan angka ini harus dibagi-bagi lagi dengan publisher, pencipta lagu dan juga artisnya. Angka 30% yang diambil Apple dirasa terlalu tinggi. Di Indonesia sebenarnya situasinya hampir mirip. Namun bukan Apple melainkan penyedia jasa telekomunikasi yang menyediakan jasa Ringbacktone. Rata-rata pemilik konten hanya mendapatkan separuhnya dari harga jual pasaran. Ini semakin diperparah karena pemilik konten juga harus merogoh kocek marketing untuk mempromosikan lagunya (yang cuma sepotong itu) untuk dibeli.

5. Physical Music Sales.

Maksudnya peritel produk fisik seperti CD dan Kaset sudah kehilangan tempatnya di hati para penggemar musik. Mau tak mau peritel ini harus bertransformasi dengan tidak hanya menjual produk musik. Di Amerika sana bisa dicontoh Walmart, Hasting, Best Buy. Di Indonesia, kita harus berterimakasih kepada KFC yang telah membuat musik tersedia sambil kita menyantap makan siang. Nyam!

6. Traditional Radio.

Radio tradisional sudah kehilangan gregetnya karena keterbatasannya interaksi dengan pendengarnya. Meskipun adanya jam request lagu namun ini dirasa kurang cukup bagi penikmat musik yang berkeinginan memilih musik apa yang mau didengar seperti halnya memutar iPod atau MP3 Player. Kondisi ini semakin membuat bingung para product manager di perusahaan rekaman untuk menentukan apakah lagu yang telah dilempar di radio benar-benar di dengar dan disukai khalayak. Karena bisa jadi saat ini heavy rotation terjadi karena egosentris dari Music Director radio yang bersangkutan. Walhasil, chart radio sudah tidak dapat lagi dijadikan dasar yang kompeten untuk menentukan lagu ini hits atau nggak.

7. Live Music.

Mergernya Live Nation dan Ticketmaster dikhawatirkan memacu adanya monopoli dan hilangnya kompetisi di industri.

8. Lawsuits.

RIAA atau asosiasi industri rekaman di Amerika berusaha menempuh jalur hukum dengan membawa para illegal downloader ke meja hijau. Sebetulnya yang dilakukan memang sudah sepatutnya untuk mengingatkan masyarakat luas akan bahayanya ‘mencuri’ musik yang bisa mengakibatkan hancurnya industri kreatif. Namun yang timbul malah persepsi akan industri musik yang rakus. Bukan membuat pembajakan menurun malahan jadi menjamur dengan hadirnya artis-artis yang mau karyanya dibagikan secara gratis.

9. The Product of Music.

Dengan adanya digitalisasi, kualitas musik yang sampai ditelinga penikmat musik sudah berkurang kadarnya demi mendapatkan file yang kecil dan mudah ditransfer antar media.

10. Media Sharing.

Masih ada hubungannya dengan point nomer 8 . Penyedia jasa berbagi media seperti bittorent, rapidshare, mediafire dan sebagainya sebenarnya merupakan alat ampuh untuk viral marketing. Dibandingkan biaya untuk menyeret mereka ke meja hijau dan hasil dari viral marketing ini nampaknya lebih baik memang tidak usah sehingga hasil viral marketing ini bisa dinikmati pemilik konten. Tapi ini juga tidak bisa dibiarkan, karena mereka penyedia jasa berbagi media ini bisnisnya bisa lanjut karena adanya konten musik disitu. Bolehlah dibuat bentuk bisnis baru yang sama-sama untung. Artis nggak hanya perlu promo via viral marketing. Tapi perlu makan dan itu pake duit.

11. Piracy & Value.

Membajak musik lebih nyaman dibandingkan harus membelinya. Mindset ini hadir ditengah masyarakat dan tumbuh menjadi dilema karena sebagai penikmat musik inginnya berbagi kenikmatan dengan sesamanya. Kalau enak nggak mau sendiri gitu.

12. An Unclear Future.

Musik industri saat ini sudah bisa dibilang melekat dengan digital dan internet. Namun sistem apa yang akan berjalan dibelakangnya agar industri musik tetap menguntungkan masih harus terus digali. Plan A, plan B, plan C disiapkan kalau-kalau yang dijalankan sekarang tidak berhasil. Setidaknya dengan memahami apa yang menjadi krisis di industri musik ini bisa menimbulkan pemikiran untuk mencari celah kesempatan untuk bisa terus hidup dan sukses.

Ini adalah buah pikir Chris yang kiranya bisa dipertimbangkan dan dicarikan solusinya bersama-sama. Chris juga pernah menjadi pembicara dalam forum TEDxNashville dan mengenyam pendidikan di Middle Tennesse State University dengan mengambil jurusan Recording Industry Management. Berminat bergabung bersamanya membangun industri musik yang baru? Join aja –> RestoringMusic.org

.

Related Posts

AI & The Fading Influence of the Music Curator.

It has been some time since I wrote about the developments in music. A Bloomberg...

DJ Sumantri

Dj Sumantri atau dikenal juga dengan Sumobeat adalah produser handal dari Indonesia.