Mastering Storytelling with Dee Lestari

When I read that Dewi Lestari, known by her pen name Dee Lestari, would be conducting a storytelling masterclass in Singapore, I immediately cleared my Sunday to attend. She was visiting for the Singapore Writers Festival, an annual event celebrating both local and international writers.

The masterclass began at 5:30 p.m. at The Arts House, Singapore. I arrived early to explore the festival and picked up some books at the Book Bar. Fortunately, I found Supernova, the English translation of her debut novel, for her to sign. It took me back to my university days in Jakarta, where I used to read it on the mikrolet (a Jakarta public minibus). I think I left my original copy back home in Jakarta.

When I entered the room, Dee greeted me with a warm smile. She remembered me from a brief encounter at Sony Music more than 20 years ago. We chatted briefly—it felt like a serendipitous reunion.

About 20 people attended the masterclass. Dee led it primarily in English, occasionally switching to Bahasa Indonesia, especially during an impromptu storytelling exercise where the audience gave her a random object to inspire a story. She wove a beautiful tale using a packet of wet wipes, telling the story of someone trying to hide their sadness.

My three key takeaways from the masterclass were:

  1. Everything in this world has its own story.
  2. Develop your writing skills through journaling, and make that time sacred.
  3. Make peace with imperfection; as writers, we are simply a medium, and the story needs to be shared.

 

 

[In Bahasa Indonesia]

Pas tau kalau Dewi Lestari, atau yang biasa dikenal dengan Dee Lestari, bakal mengadakan masterclass storytelling di Singapura, saya langsung meluangkan waktu pada hari Minggu 10 November untuk menghadirinya. Dia datang ke Singapura dalam rangka Singapore Writers Festival, acara tahunan yang merayakan penulis lokal dan internasional.

Masterclass dimulai pukul 17:30 di The Arts House, Singapura. Saya memilih untuk datang lebih awal supaya dapat melihat festival dan membeli beberapa buku di Book Bar. Beruntung, saya menemukan Supernova, tapi terjemahan bahasa Inggris, untuk dia tanda tangani. Jadi inget novel ini pernah menemani saya di Mikrolet semasa masa kuliah dulu. Kemana yah ni novel sekarang?

Ketika saya masuk ke ruangan, Dee menyapa saya dengan senyum hangat. Dia mengenali saya dari pertemuan singkat di Sony Music lebih dari 20 tahun yang lalu. Kami sempat berbincang sejenak dan rasanya seperti sebuah reuni yang penuh kejutan.

Sekitar 20 orang menghadiri masterclass ini. Dee membawakannya sebagian besar dalam bahasa Inggris, namun sesekali beralih ke Bahasa Indonesia, terutama saat sesi storytelling improvisasi di mana audiens memberikan benda random untuk menginspirasi cerita. Dia menciptakan kisah indah menggunakan sepaket tisu basah, bercerita tentang seseorang yang berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Tiga hal utama yang saya pelajari dari masterclass ini adalah:

  1. Segala sesuatu di dunia ini memiliki ceritanya sendiri.
  2. Kembangkan keterampilan menulis dengan jurnal, dan jadikan waktu itu sebagai waktu yang sakral.
  3. Berdamailah dengan ketidaksempurnaan; sebagai penulis, kita hanya perantara, dan sampaikan cerita itu ke khalayal ramai.

Related Posts

Enjoy Your Life by Dr. Al Areefy

When I was in Madinah, I bought a book Enjoy Your Life “The Art of Interpersonal...

Capturing Stories, Building Confidence

Alhamdulillah, recently I made it to the top three favorites in a photo challenge capturing...