Mendapatkan Pembiayaan (Funding) Untuk Proyek Musik Loe Di Tahun 2015

pembiayaan-funding-proyek-musik2

Mengawali 2015, untuk memulai proyek musik seperti membuat album rekaman membutuhkan pembiayaan (funding) yang terkadang tidak sedikit. Meskipun biaya rekaman hari gini bisa diakali sedemikian canggihnya supaya bisa lebih murah. Tetapi bagi musisi yang ingin karyanya dihargai tinggi tentunya ingin memberikan hasil karya yang berkualitas pula kepada para fansnya. Dan merogoh kocek sendiri untuk dijadikan modal rekaman bisa saja tidak mencukupi sehingga perlu bantuan pembiayaan (funding) dari pihak lain.

Model Pembiayaan Rekaman

Kebutuhan rekaman seperti sewa studio, bayar engineer, hingga jasa seperti vocal director, session player hingga vokal latar yang membuat ongkos merekam sebuah ide lagu menjadi karya yang terfiksasi menjadi tinggi. Jika seorang musisi dinaungin oleh label besar atau ada dukungan dari produser yang memiliki modal tentunya hal pembiayaan bukanlah menjadi masalah. Lalu bagaimana dengan musisi mandiri atau swadaya yang punya semangat rekaman tetapi biayanya minim?

Eh iya, istilah fiksasi ini digunakan di UU Hak Cipta yang baru sebagai dasar pertimbangan sebuah ide dianggap punya hak cipta. Fiksasi maksudnya adalah sebuah ide lagu, baru akan timbul hak ciptanya jika sudah direkam menjadi sebuah karya yang dapat disentuh (tangible format). Meskipun kadang rancu karena rekaman hari gini pake format digital, nyentuhnya gimana? Ya udah anggap aja harddisknya menjadi format tangible nya. Hehehe.

Oke kembali lagi. Pada dasarnya nggak ada yang gratis di dunia ini. Meskipun dinaungin sama label besar atau produser yang memiliki modal, biaya rekaman tadi akan dianggap ‘utang’ dan musisi diharapkan untuk mengembalikan dalam bentuk bagi hasil atau royalty. Yah syukur-syukur ada orang baik yang mau ngasih duit. Tapi kayak Cinderella Story banget sih.

Sumber Pembiayaan Rekaman

Di Indonesia, agak susah-susah gampang untuk mendapatkan investor yang mau membiayai proyek musik. Apalagi dengan susahnya mendapatkan data yang pasti mengenai prospek industri rekaman di Indonesia membuat investor urung menanamkan modalnya di beberapa proyek musik. Tetapi bukan berarti nggak ada investor yang mau ‘buang duit’ untuk sebuah proyek musik. Ini tergantung pinter-pinternya loe untuk membuat sebuah proposal rekaman atau proyek musik loe.

Musisi mandiri biasanya mencari pembiayaan lewat investor dengan perjanjian tertentu. Misalkan sama seperti diatas yaitu membagi hasil penjualan karya rekaman tadi lewat pembagian royalty. Atau juga mendapatkan pembiayaan dari sponsor dengan imbal balik penyebutan merk si sponsor di lagu yang direkam, misalkan.

Pertimbangan investor dalam mengucurkan dana mungkin bukan hanya soal prospek keuntungan finansial yang didapat dari produksi rekaman. Ada juga investor yang menaruh uangnya pada proyek musik karena iba kepada si musisi dan ingin melihat si musisi ini berhasil mencapai impiannya sebagai bintang. Rasa iba ini bisa juga dimanfaatkan dengan menggelar aksi ‘crowd-funding’ yaitu penggalangan dana agar musisi dapat rekaman. Nantinya si investor (atau lebih tepatnya kalau ini disebut sebagai donatur) tadi akan mendapatkan imbalan berupa karya rekaman ditambah bonus sesuai apa yang dijanjikan sesuai dengan besaran donasinya. Tentu saja cara ini membuat musisi dapat memiliki 100% karya ciptanya yang bisa dimonetisasi lagi ke bentuk lainnya seperti publishing, sponsor atau sync-deal untuk keperluan sinetron dan film.

Membandingkan Dengan Inggris

Di Inggris, lewat Performing Rights Society (PRS) para musisi mendapatkan koneksi kepada para calon investor yang siap menanamkan modalnya. Modelnya pun beragam dari yang mencari musisi dengan ide musik yang fresh atau musisi yang berkeinginan untuk go international. PRS sendiri sejak tahun 2000 telah menggelontorkan sebanyak £ 19,5 juta kepada lebih dari 4,600 proyek musik. Musisi yang pernah mendapatkan pembiayaan dari PRS contohnya adalah Krysia Osostowicz yang merupakan pemain violin.

Lewat PRS pula, musisi yang mendapatkan undangan untuk tampil di luar negeri bisa disokong untuk meringankan biaya perjalanan hingga pengurusan visa. Ini yang menurut gue menarik mengingat pengalaman gue bersama Everybody Loves Irene keliling Singapura, Malaysia dan Filipina proses pengurusan visa, tiket pesawat dan biaya selama tinggal disana memang tidak mudah dan tidak sedikit biayanya. Biasanya kebanyakan pengundang festival band indie hanya memberikan fee untuk tampil tanpa memberikan biaya pengganti untuk transport dan akomodasi. Itungannya adalah sebagai bentuk promo kalau musik loe diapresiasi di luar negeri. Loe bisa cek apa saja pembiayaan yang ditawarkan oleh PRS disini http://www.prsformusicfoundation.com/Funding/

Buat Indonesia sendiri gue berharap kita punya semacam yang ditawarkan oleh PRS. Apalagi gue denger saat ini sedang digagas untuk membangun sebuah organisasi yang isinya adalah musisi-musisi yaitu PRISINDO oleh Om Chen. Lewat organisasi ini harapannya adalah musisi dapat berdaulat atas karyanya dan juga khasanah musik di Indonesia bisa semakin beragam dan dikenal luas. Jadi tidak adalagi cerita tentang musisi yang terjebak dengan kontrak rekaman sekian album tanpa tau tahun berapa berakhirnya kontrak tersebut.

Semangka yah kakak… met tahun baru 2015!

Related Posts

AI & The Fading Influence of the Music Curator.

It has been some time since I wrote about the developments in music. A Bloomberg...

DJ Sumantri

Dj Sumantri atau dikenal juga dengan Sumobeat adalah produser handal dari Indonesia.