Singapura & Memanusiakan Manusia

Berlatar belakang bangunan ikonik Singapura

Saya merasa sangat beruntung sekali dapat tinggal dan merasakan hidup di Singapura. 

Sudah hampir lima tahun saya mencari nafkah dan juga makan dari tanah dan air yang ada di Singapura. Saya ajak istri dan anak saya untuk turut tinggal bersama saya. Merantau di Singapura. Sejauh ini saya melihat mereka bahagia, saya pun demikian.

Saya ingin menuliskan perasaan saya dan juga rasa terima kasih saya buat Singapura. Terutama ketika menghadapi wabah Covid19 yang merebak sejak akhir Januari tahun ini. 

Singapura menjadi salah satu negara yang paling serius menanggapi wabah ini. Saking seriusnya, dalam waktu beberapa minggu, tingkat kewaspadaan terhadap wabah meningkat dengan drastis. Tentu pengumuman dari pemerintah ini langsung memacu kepanikan warga untuk memborong bahan pokok kehidupan sehari-hari. Termasuk tissue toilet. Sebagai manusia, ini wajar ketika naluri untuk bertahan hidup mulai mengantisipasi.

Yang saya lihat, pemerintah Singapura berusaha menenangkan warganya dengan memberikan informasi-informasi yang jelas. Peran serta masyarakat untuk membuat kondisi menjadi tenang pun tampak sekali. Panduan-panduan tentang menghadapi wabah sangat mudah ditemui. Arahan untuk menjaga kebersihan sangat jelas dimana-mana. Sampai botol-botol ‘hand-sanitizer’ dapat dengan gampang diakses. Posko-posko darurat yang memeriksa suhu tubuh tiap pengunjung banyak berdiri. 

Saya juga dapat dengan mudah mengakses informasi penyebaran virus lewat situs Kementrian Kesehatan Singapura https://www.moh.gov.sg/. Tak hanya penyebaran, juga informasi berapa banyak orang yang telah sembuh (dinyatakan tidak memiliki virus Corona) pun ada. Tentunya informasi ini terbatas untuk tahu berapa banyak bukan siapa saja orangnya karena itu tidak penting.

Satu hal lagi yang membuat saya takjub adalah usaha keras dari pemerintah Singapura untuk meredam penyebaran dengan arahan karantina bagi orang-orang yang punya riwayat perjalanan ke Cina dan juga orang-orang yang beresiko tinggi karena sempat berinteraksi dengan korban. Saking seriusnya juga, orang-orang yang berusaha untuk mangkir dari karantina bisa kena denda mahal, dipenjara bahkan kehilangan keistimewaan sebaga penduduk tetap Singapura, jika mereka bukan warga negara.

Ini yang membuat saya merasa tenang dan aman tinggal di Singapura. Ketika saya harus berpergian untuk bisnis ke luar negeri, saya tidak khawatir dengan keluarga yang saya tinggalkan. Saya justru berusaha untuk mawas diri lagi karena akan berada di negara atau kawasan yang belum tentu aman dari wabah Covid19.

Bisa saja orang bilang kalau Singapura negara kecil yang dengan mudah mengatur segalanya. Nggak salah juga, tapi lihat juga bagaimana Singapura memperlakukan manusia sebagai mana layaknya manusia. Dengan informasi yang jelas, memberikan rasa aman dan juga tindakan pencegahan penyebaran wabah, saya angkat topi buat Singapura.

Mungkin ini pelajaran buat kita. Bisa jadi virus ini bukan menyerang manusia tapi juga tengah menguji bagaimana pentingnya ‘rasa kemanusiaan’.

Related Posts

Enjoy Your Life by Dr. Al Areefy

When I was in Madinah, I bought a book Enjoy Your Life “The Art of Interpersonal...

Capturing Stories, Building Confidence

Alhamdulillah, recently I made it to the top three favorites in a photo challenge capturing...